Dalam masyarakat Bugis, pesse bukan sekadar kata. Ia adalah getaran batin yang membuat seseorang merasakan penderitaan orang lain seolah dialami sendiri. Nilai ini menjadi fondasi moral yang berjalan berdampingan dengan siri’. Jika siri’ menegakkan martabat, maka pesse memperhalus jiwa dan menumbuhkan kepedulian sosial. Orang Bugis percaya bahwa masyarakat hanya dapat berdiri kokoh bila rasa peduli itu tidak padam, dan pesse adalah api kecil yang tetap menyala dalam setiap hubungan sosial mereka.
Akar Sejarah dalam Kehidupan Komunal
Sejak era kerajaan-kerajaan Bugis awal, masyarakat hidup dalam kelompok yang saling bergantung. Wilayah pertanian, pemukiman di pesisir, dan jalur perdagangan mengharuskan semua orang bekerja bersama. Di sinilah pesse tumbuh sebagai nilai yang tidak hanya mengikat keluarga, tetapi juga menyatukan komunitas dalam situasi sulit. Ketika panen gagal, ketika terjadi perang antar-kerajaan, atau ketika musibah menimpa satu kampung, masyarakat Bugis bergerak sebagai satu tubuh. Tradisi ini tercatat dalam berbagai naskah Lontaraq yang menggambarkan bagaimana to-Bugis menjunjung tinggi persatuan dan susah senang bersama.
Ikatan Sosial dalam Kehidupan Sehari-Hari
Dalam keseharian, pesse tampak dalam banyak bentuk: saling membantu saat membangun rumah panggung, gotong-royong memperbaiki irigasi, hingga kebiasaan membantu keluarga yang menyelenggarakan pesta adat atau menghadapi duka cita. Rasa kepedulian ini bukan kewajiban yang dipaksakan, melainkan ekspresi alami dari keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang terhubung. Bahkan dalam hubungan dagang dan pelayaran, nilai pesse membuat orang Bugis memiliki reputasi sebagai mitra yang jujur dan dapat dipercaya.
Peran Pesse dalam Kepemimpinan Tradisional
Pemimpin Bugis, terutama pada masa kerajaan, tidak hanya dinilai dari keberanian dan kecerdikan, tetapi juga dari sejauh mana mereka memiliki pesse. Arung atau pemimpin adat yang tidak memiliki kepekaan sosial dianggap tidak layak memimpin. Hal ini tercermin dalam prinsip kepemimpinan Bugis: seorang pemimpin harus mampu merasakan beban rakyatnya, memahami kesulitan yang mereka hadapi, serta bertindak dengan hati nurani. Karena bagi orang Bugis, kekuasaan bukan sekadar otoritas, tetapi amanah moral.
Harmoni antara Pesse dan Siri’
Yang menarik, pesse tidak berdiri sendiri. Ia berjalan berdampingan dengan siri’ sebagai dua sisi dari karakter Bugis. Siri’ menjaga kehormatan, sementara pesse mengikat hubungan antar manusia. Jika siri’ menuntut ketegasan, pesse menuntun pada kelembutan. Kombinasi ini menciptakan masyarakat yang kuat namun tetap penuh welas asih. Di masa kerajaan, nilai-nilai ini bahkan menjadi pedoman dalam menyelesaikan konflik dan membangun persekutuan antarkerajaan.
Pesse di Era Modern
Meski zaman berubah, semangat pesse tetap hidup dalam budaya Bugis. Ia hadir dalam organisasi sosial, komunitas perantau, hingga kegiatan gotong-royong yang masih kuat dipertahankan. Di perantauan, orang Bugis kerap membentuk kelompok solidaritas untuk membantu sesama yang mengalami kesulitan. Di kampung halaman, budaya saling membantu masih menjadi identitas yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Warisan yang Tetap Dijaga
Pesse bukan sekadar nilai kuno. Ia adalah warisan yang membuat masyarakat Bugis mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan zaman. Nilai ini menciptakan ikatan yang membantu komunitas tumbuh, bekerja sama, dan menjaga keharmonisan sosial. Bagi masyarakat Bugis, selama pesse tetap hidup dalam hati tiap orang, maka kebudayaan mereka akan terus berdiri kokoh—bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai cara hidup.
Admin : Andi Leni
.jpg)