Kisah To Manurung - Sosok Mulia dari Langit Asal Mula Kepemimpinan Bugis

Kisah To Manurung
Sosok Mulia dari Langit dan Asal Mula Kepemimpinan Bugis

Dalam sejarah dan kebudayaan Bugis, tidak ada kisah yang lebih sering disebut sebagai penanda lahirnya tatanan sosial selain kisah To Manurung. Narasi ini bukan sekadar legenda, tetapi fondasi dari struktur kerajaan, hukum adat, dan pandangan hidup masyarakat Bugis. Kisah ini hidup melalui Lontaraq, tradisi lisan, serta catatan sejarah kerajaan yang tersebar di Bone, Wajo, Luwu’, Soppeng, dan berbagai wilayah Bugis lainnya.

Masyarakat Bugis memandang To Manurung bukan hanya sebagai makhluk supernatural, tetapi sebagai simbol kelahiran kepemimpinan yang sah, datang pada masa ketika manusia membutuhkan penata kehidupan. Karena itu, kisah To Manurung selalu hadir ketika membahas asal-usul kerajaan dan pembentukan masyarakat Bugis.

Zaman Sebelum Kepemimpinan
Manusia Tanpa Pengatur

Lontaraq menuturkan bahwa sebelum munculnya To Manurung, manusia hidup dalam keadaan yang tidak teratur. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil yang belum mengenal aturan tertulis, tidak memiliki pemimpin yang ditaati, dan sering berselisih satu sama lain.

Masyarakat hidup berdasarkan kekuatan dan keputusan kelompok masing-masing, sehingga:

  • tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa,
  • tidak ada pembagian peran yang jelas,
  • dan tidak ada hukum yang disepakati bersama.
Dalam perspektif sejarah, kondisi ini menggambarkan masa awal ketika masyarakat Bugis masih berupa komunitas wanua permukiman kecil yang berpencar, masing-masing dipimpin tokoh lokal. Ketika populasi bertambah dan interaksi semakin padat, kebutuhan akan pemimpin yang lebih kuat dan netral pun muncul. Dari konteks inilah kisah To Manurung memperoleh makna sosial yang sangat penting.

Munculnya To Manurung - Sosok Mulia dari Langit
Kisah To Manurung selalu digambarkan sebagai kehadiran seorang sosok mulia yang “turun dari langit” atau “muncul dari dunia atas”. Dalam tradisi Bugis, dunia atas (botting langi’) adalah alam para makhluk suci, tempat yang penuh cahaya dan ketertiban. Kedatangan To Manurung dianggap sebagai campur tangan ilahi untuk memperbaiki kehidupan manusia.

Lontaraq menyebutkan bahwa To Manurung tidak datang membawa kekerasan ataupun penaklukan. Ia datang secara damai, seolah telah dipilih oleh kekuatan alam raya untuk menjadi penata kehidupan.

Sosok ini biasanya digambarkan memiliki:
  • wajah bercahaya,
  • tubuh yang memancarkan kewibawaan,
  • kemampuan berbicara dengan tutur mulia,
  • dan perilaku penuh kebijaksanaan.
Masyarakat yang melihatnya digambarkan takjub, namun sekaligus merasa tenteram. Kemunculan To Manurung menjadi titik awal lahirnya struktur pemerintahan di berbagai kerajaan Bugis.

Berbeda Wilayah, Berbeda Versi - Tetapi Intinya Sama
Keunikan kisah To Manurung terletak pada keberagamannya. Hampir setiap kerajaan Bugis memiliki versinya sendiri, namun seluruhnya memiliki pola yang serupa: munculnya sosok dari langit yang menjadi raja pertama dan pembawa tatanan hidup.

1. To Manurung di Bone
Menurut Lontaraq Bone, To Manurung muncul di Cina (Cingkang). Ia ditemukan oleh masyarakat yang tengah bertengkar tentang siapa yang berhak menjadi pemimpin. To Manurung kemudian dinikahkan dengan seorang perempuan setempat, sehingga lahirlah garis keturunan yang kelak menjadi raja-raja Bone.

2. To Manurung di Wajo
Dalam tradisi Wajo, To Manurung dikenal sebagai tokoh yang mengajarkan ade’, dasar adat Bugis. Ia menata hubungan antarkampung dan memperkenalkan prinsip musyawarah, cikal bakal sistem pemerintahan demokratis Wajo yang terkenal dengan Arung Matoa.

3. To Manurung di Luwu’
Di Luwu’, To Manurung sering dikaitkan dengan tokoh besar Batara Guru, yang dianggap leluhur para raja dan bangsawan tinggi. Dalam banyak sumber, Batara Guru dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep To Manurung.

4. To Manurung Ajattappareng
Di kawasan Ajattappareng (Sidénréng, Rappang, Suppa’, Sawitto), versi To Manurung diceritakan sebagai sosok yang menurunkan arajang benda-benda kerajaan yang menjadi simbol legitimasi kekuasaan.

Perbedaan versi ini menunjukkan fleksibilitas budaya Bugis: setiap wilayah mengakui To Manurung sebagai bagian dari identitasnya, tetapi tetap menjaga kesatuan konsep.

Makna Filosofis
Kepemimpinan yang Bukan Lahir dari Kekerasan

Dalam budaya Bugis, seorang pemimpin tidak boleh memerintah berdasarkan kekuasaan semata. Kisah To Manurung menunjukkan bahwa legitimasi kepemimpinan berasal dari:
  • restu langi’ (simbol moral ilahi),
  • penerimaan masyarakat,
  • dan kemampuan menata kehidupan.
Inilah sebabnya, sampai masa kerajaan berkembang, raja Bugis selalu dikaitkan dengan ara’jang (pusaka kerajaan). Pusaka-pusaka itu dianggap sebagai bukti bahwa raja memegang kewenangan yang “diturunkan”, bukan direbut.

Kisah To Manurung juga memberi pemahaman bahwa pemimpin ideal harus:
  • membawa perdamaian,
  • mengajarkan hukum yang adil,
  • dan mampu mengharmoniskan masyarakat yang berkonflik.
Nilai inilah yang kemudian menyatu dengan konsep Pangadereng sistem nilai Bugis yang mencakup Ade’, Bicara, Wari’, Rapang, dan Sara’.

To Manurung dan Pembentukan Kerajaan - Kerajaan Bugis
Dari kisah To Manurung lahirlah kerajaan-kerajaan awal yang menjadi cikal bakal kekuatan politik Bugis. Sering kali seorang To Manurung menikah dengan penduduk lokal, sehingga terbentuk garis keturunan bangsawan yang memerintah selama berabad-abad.

Dalam banyak tradisi, seorang To Manurung dianggap:
  • membawa hukum atau aturan dasar,
  • mendirikan permukiman yang kemudian berkembang menjadi kerajaan,
  • mengikat perjanjian dengan berbagai kelompok masyarakat,
  • dan membangun struktur sosial yang diikuti oleh generasi berikutnya.
Kerajaan-kerajaan Bugis Bone, Wajo, Soppeng, Luwu’, Cina, Suppa’, Rappang, dan lain-lain menjadikan kisah To Manurung sebagai fondasi legitimasi kekuasaan mereka.

Penafsiran Sejarawan Modern
Simbolisasi Kepemimpinan Awal

Sejarawan modern melihat To Manurung bukan sekadar figur mistis. Banyak ahli memandangnya sebagai:simbol pemimpin luar yang masuk dengan teknologi atau pengetahuan lebih maju,
tokoh karismatik yang diterima karena dianggap membawa ketertiban, atau representasi proses transformasi masyarakat dari komunitas kecil menjadi kerajaan.Namun, meski penafsiran modern berkembang, bagi masyarakat Bugis kisah To Manurung tetap memiliki nilai spiritual dan historis yang kuat. Ia bukan hanya cerita asal-usul, tetapi juga lambang kesucian kepemimpinan dan moral.

To Manurung sebagai Pusat Identitas dan Tata Nilai Bugis
Kisah To Manurung adalah fondasi peradaban Bugis. Dari kisah ini lahir tatanan pemerintahan, nilai moral, dan legitimasi kekuasaan yang bertahan hingga masa modern. Sosok To Manurung melambangkan pemimpin yang datang untuk membawa kedamaian, hukum, dan ketertiban sebuah konsep kepemimpinan yang terus dijaga dalam budaya Bugis sampai sekarang.

Melalui kisah ini, kita melihat bagaimana legenda, nilai budaya, dan sejarah berpadu menjadi satu. To Manurung bukan sekadar tokoh masa lalu; ia adalah simbol jati diri, martabat, dan identitas masyarakat Bugis.

Admin : Andi Radliah

Blog Sahabat SulSel hadir sebagai ruang digital yang menyajikan informasi mendalam tentang Sulawesi Selatan, mulai dari kekayaan sejarah kerajaan-kerajaan besar seperti Gowa, Bone, dan Luwu, hingga keberagaman budaya masyarakat Bugis Makassar yang membentuk identitas khas daerah ini. Blog ini menggambarkan keindahan alam SulSel yang membentang dari pantai, pegunungan, dan lembah, serta menyoroti nilai-nilai luhur seperti siri’, pesse, dan berbagai tradisi adat yang masih hidup hingga sekarang.

Tidak hanya menyajikan sejarah dan budaya, Blog Sahabat SulSel juga menghadirkan artikel-artikel informatif mengenai seni, musik, kuliner, pariwisata, bahasa daerah, kehidupan sosial, serta perkembangan modern di berbagai kabupaten/kota se-Sulawesi Selatan. Dengan gaya penulisan yang hangat dan profesional, blog ini menjadi rujukan terpercaya bagi siapa pun yang ingin memahami SulSel secara lebih luas mulai dari masyarakat lokal hingga pembaca dari luar daerah yang ingin mengenal kekayaan budaya dan identitas Sulawesi Selatan.