Kerajaan Bone mulai muncul dalam catatan sejarah sekitar abad ke-14, pada masa ketika komunitas-komunitas Bugis di jazirah Sulawesi Selatan masih berada dalam bentuk pemukiman kecil yang dipimpin para Arung lokal. Di tengah dinamika masyarakat yang sedang berkembang, tradisi Lontaraq menyebut tokoh penting bernama Manurunge ri Matajang sebagai figur yang membawa Bone memasuki fase pemerintahan yang lebih teratur. Tokoh ini digambarkan sebagai pemersatu yang menumbuhkan kesadaran politik baru di antara para pemimpin lokal.
Pada fase awal inilah Bone mulai meletakkan fondasi hukum adat (Ade’), sistem musyawarah (Panngadereng), serta struktur sosial yang mengatur hubungan antara rakyat, bangsawan, dan pemimpin. Kekuatan Bone tidak tercipta secara tiba-tiba, melainkan dibangun secara perlahan melalui tata kelola yang rapi, penghormatan terhadap adat, serta kemampuan masyarakatnya dalam menjaga stabilitas internal. Inilah alasan mengapa Bone berkembang lebih cepat daripada banyak kerajaan Bugis lainnya pada era yang sama.
Transformasi Politik
Seiring berkembangnya wilayah dan pengaruh, Bone mengalami transformasi dari pemerintahan kolektif menjadi kerajaan yang semakin terpusat. Jabatan Arumpone (raja Bone) menjadi simbol kekuasaan tertinggi, namun tetap diimbangi oleh lembaga adat dan para Arung yang memiliki suara penting dalam pengambilan keputusan. Struktur pemerintahan Bone dikenal cukup maju untuk ukuran masa itu, karena memadukan kekuasaan raja, pengawasan adat, dan mekanisme musyawarah.
Transformasi politik ini membuat Bone semakin stabil dan kompetitif. Dengan sistem yang jelas, mereka mampu membuat perjanjian, mengatur wilayah taklukan, dan memelihara struktur sosial yang solid. Kekuatan politik Bone bukan hanya ditentukan oleh raja, tetapi juga oleh tata aturan adat yang kuat sehingga kekuasaan tidak berjalan sewenang-wenang. Konsistensi inilah yang membuat Bone dihormati oleh kerajaan-kerajaan Bugis lainnya.
Kekuatan Diplomasi
Bone bukan hanya besar karena militer, tetapi juga karena kelihaiannya berdiplomasi. Kerajaan ini membangun jaringan hubungan dengan kerajaan Bugis lain seperti Wajo, Soppeng, Luwu, dan Sawitto, serta berinteraksi intens dengan kerajaan Makassar seperti Gowa dan Tallo. Diplomasi Bone mencakup berbagai bentuk: perjanjian damai, kerjasama dagang, aliansi politik, hingga pernikahan bangsawan untuk memperkuat hubungan antar-kerajaan.
Dalam beberapa konflik antarkerajaan di Sulawesi, Bone sering menjadi pihak yang menentukan arah perdamaian. Posisi Bone sebagai penyeimbang kekuatan menjadikannya aktor penting dalam politik regional. Keahlian diplomasi ini terlihat bukan hanya dalam hubungan dengan sesama kerajaan Bugis, tetapi juga terlihat pada masa hubungan Bone dengan VOC di abad ke-17, di mana manuver politik Bone sangat mempengaruhi perubahan kekuatan di kawasan timur Nusantara.
Militer Bone
Kerajaan Bone dikenal memiliki tradisi militer yang kuat dan dihormati. Kekuatan prajurit Bone berasal dari semangat keprajuritan Bugis yang menjunjung tinggi keberanian, kehormatan (siri’), dan kesetiaan. Mereka terlatih dalam perang darat dan laut, memiliki strategi yang efektif, serta mampu beradaptasi dengan perubahan senjata dan taktik sepanjang zaman.
Pasukan Bone sering digambarkan sebagai prajurit yang disiplin dan sulit ditaklukkan. Dalam berbagai perang antar-kerajaan, Bone menunjukkan ketangguhan dalam mempertahankan wilayahnya maupun melakukan ekspansi. Selain itu, hubungan militer Bone dengan kerajaan lain sangat mempengaruhi arah konflik regional. Pada masa Gowa menanjak sebagai kekuatan dominan, Bone menjadi salah satu kerajaan yang terus berusaha mempertahankan identitas dan kedaulatannya melalui perlawanan militer.
Masa Arung Palakka
Puncak dinamika dan perubahan besar dalam sejarah Bone terjadi pada masa Arung Palakka, tokoh paling kontroversial sekaligus paling berpengaruh dalam sejarah Bugis. Setelah mengalami kekalahan berat dalam ekspansi Gowa pada abad ke-17, Arung Palakka melarikan diri dari Bone dan mencari perlindungan di Buton, kemudian bergabung dengan VOC. Di sinilah ia mulai membangun kekuatan baru yang kelak mengubah perimbangan kekuasaan di Sulawesi Selatan.
Kembalinya Arung Palakka bersama VOC ke Sulawesi menjadi titik balik besar bagi Bone. Ia memimpin perang melawan Gowa dalam Perang Makassar (1666–1669), konflik besar yang mengakhiri dominasi Gowa dan mengembalikan Bone sebagai kekuatan utama di kawasan tersebut. Walaupun hubungan Bone–VOC sering diperdebatkan secara historiografis, tidak dapat dipungkiri bahwa Arung Palakka memainkan peran sangat besar dalam membentuk lanskap politik Sulawesi Selatan pada masa itu.
Tokoh ini dikenang dengan dua sisi: pahlawan pembebasan Bone dari dominasi Gowa, sekaligus figur yang membawa VOC semakin berpengaruh di Sulawesi. Namun apa pun perspektifnya, Arung Palakka adalah bagian tak terpisahkan dari kejayaan dan transformasi Kerajaan Bone.
Warisan Bone
Setelah melewati masa perang, aliansi, dan perubahan politik yang kompleks, Bone tetap berdiri sebagai simbol kekuatan dan kebijaksanaan Bugis. Kerajaan ini melahirkan banyak tokoh berpengaruh dalam adat, pemerintahan, dan penyebaran budaya Bugis. Lontaraq Bone menjadi rujukan penting dalam melihat perkembangan hukum adat, struktur sosial, dan sejarah kerajaan-kerajaan Bugis lainnya.
Hingga masa modern, identitas Bone sebagai pusat budaya Bugis tetap terlihat dalam tradisi, sistem adat, dan peran bangsawan Bone dalam berbagai lini kehidupan masyarakat. Warisan ini menjadikan Bone bukan hanya sebagai sebuah kerajaan dalam sejarah, tetapi sebagai bagian penting dari kepribadian dan kebanggaan masyarakat Bugis hingga hari ini.
Admin : Andi Ranti
.jpg)